Minggu, 29 September 2013

[Kolom Qoute] Catatan Tito, Si Autis

Manusia, orang-orang di sekelilingku
Tiada seorang pun yang cocok,
Aku mencari-cari seseorang
Tapi aku adalah badut yang 

_Tito S. Mukhopadhyay, Buku "Catatan Cerdas: Catatan Menakjubkan Seorang Anak Autis, Terjemahan.
Taked from Google Image

***
Memahami, mengerti, memaklumi adalah hal yang langka dalam tata sifat kebanyakan manusia. Kekurangan-kekurangan yang Tuhan ciptakan pada setiap insan harusnya menumbuhkan sifat kasih dan peduli pada sesama. Autis, mereka adalah orang-orang dengan keterbelakangan mental, namun punya satu hal menakjubkan yang berbeda-beda di antara individunya. Kebanyakan dari mereka lebih peka terhadap kerumitan tatanan dan teka-teki kehidupan hingga keadaan mereka yang tak senada dengan dunia selain mereka.

Badut, haruskah kita memperlakukan sesama layaknya menonton lelucon? Alangkah dunia ini akan menjadi bermuka dua bila hal itu terjadi. Bagaimana sebuah tertawaan akan bebarengan dengan rasa sakit hati yang mencabik-cabik. Bagaimana mungkin kebahagian seseorang bisa menjadi duri untuk yang lain. Dan, itulah kebanyakan sisi dunia.

[Jurnal Harian] Masa-Masa Jahat di Sekolah

Seringkali kita tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan telah membuat sakit orang lain. Begitupun seorang murid. Aku tak akan merasakan betapa berat dan sakitnya yang harus dihadapi seorang guru bilamana Tuhan tak mengijinkanku untuk mengetahuinya. Tapi Ia tahu apa yang harus dirancang-Nya untuk menampikku dari perbuatan-perbuatan "jahat" yang telah aku lakukan.

Benar kata-Nya bahwa semua yang kita lakukan akan kembali pada diri kita sendiri. Kebaikan yang kita lakukan, keburukan yang kita perbuat, semuanya akan berbuah sebagaimana mestinya pada kehidupan kita mendatang. Dan, inilah yang kini kurasakan.

Murid, bukan menjadi hal yang tabu lagi, bahkan, berlaku buruk di dalam kelas. Mengobrol, mengabaikan pelajaran, tidur, tidak peduli pada guru, semua hal buruk itu sebenarnya amatlah menyakitkan bagi seorang guru. Tak lain aku, yang dulu seringkali melakukan hal-hal tersebut, secara tidak langsung telah menyakiti hati guruku.

Aku sama sekali tak mengira rasanya akan begitu pedih ketika kita bicara dengan sepenuh hati, berusaha berbagi, mencurahkan semua untuk memahami, namun yang terjadi adalah balasan yang remeh. Tak berbeda dengan keburukan-keburukan murid di kelas. Apa yang kurang dari seorang guru yang setiap detik waktu pentingnya hanya diluangkan untuk menjadikan kita seorang yang "bernilai", bertalenta, dan menjadi "manusia super". Dan, apa yang telah aku dan kebanyakan murid perbuat demi membalas hal agung itu.

Sungguh bila Tuhan tidak memberiku sebuah jalan untuk bertempat di posisi sebagaimana guruku, tentu aku tidak akan mengetahui betapa jahatnya aku ketika menjadi seorang murid, dulu. Kini aku tahu, sangat pedih ketika kita mencoba melakukan hal yang sangat mulia itu dan dengan mata kepala sendiri kita melihat perlakuan bosan yang ditunjukkan seorang murid. Mungkin akan sangat maklum bila murid hanyalah "tidak sengaja" lelah dan terlepas dari fokus memperhatikan. Namun, bagaimana rasanya ketika kita berusaha memahamkan dan berbagi sedang orang yang kita tuju menunjukkan kejemuannya dan kesengajaannya untuk tak menghiraukan.

Bila sudah begini, bersedihlah aku betapa banyak khilafku ketika masa-masa sekolah. Betapa jahatnya aku pada guruku. Namun, sungguh mereka tak sedikit pun menunjukkan kecewa atas perlakuan yang tak terpuji ini. Ialah guru, yang patut di-gugu dan ditiru. Kiranya kini tugas bagiku untuk mengubah keburukanku dengan menjadi guru yang bisa diteladani layaknya mereka. Membangkitkan etos murid dalam menuntut ilmu. Bahwa ada saat-saat di mana kita harus memikirkan orang lain, ada saat-saat di mana kita harus tunduk, ada saat-saat di mana kita harus berjuang, dan ada saat-saat di mana kita boleh bersenag-senang. Semua harus ditempatkan di tempat yang semestinya, agar tidak ada yang terdzalimi.

"Satu hal untuk menjadi orang baik adalah tidak memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak kita suka dan memberikan hal terbaik sebagaimana kita menyukainya."

Guru
Taked from Google Image

Sabtu, 21 September 2013

[Arsip Fiksi] Pee: Buku Harian Lama

Nay asal membuka buku harian usangnya, begitu saja. Entah berapa halaman yang tersibak, namun di halaman yang terbuka itu ia menemukan barisan kata-kata lama.

Hai Pee,
Mimpi ini begitu lucu menurutku
Akankah sama lucunya bila nyata terjadi?

Pee, sebuah inisial untuk kertas-kertasnya yang romantis. Paper Romance, katanya. Nay tersenyum kala mengingat persis apa maksud bait-bait itu. Sebuah mimpi yang aneh dan lucu menurutnya. Ia masih ingat ketika tiga hari tiga malam ia terus tersenyum-senyum dalam dunia dan lamunannya sendiri akibat mimpi yang konyol. Ya, sangat sangat konyol. Dalam sebuah taman kecil yang sepi, tiba-tiba sesosok yang ia kagumi bertahun-tahun kala itu datang dan berkata, “Nay, kamu dengar orang-orang membicarakan tentang kita?” Memang benar Nay tahu gosip-gosip burung yang terbang sembarangan di kampus. Apa maksud ia datang dan tiba-tiba menanyakan hal ini? Nay siap-siap menata hati kalau-kalau.... “Tapi, Nay,” lanjutnya, “Aku sebenarnya tidak ada perasaan apapun padamu. Memang kita dekat, tapi aku hanya menganggapmu teman.”

Kecewa? Tidak menurutnya. Walaupun sudah ada harap. Pengakuannya begitu lucu menurut Nay. Ia ingat betul dalam mimpipun ia tertawa terpingkal-pingkal dan sempat menjawab, “Hey! Kenapa kamu begitu serius menanggapi hal bodoh ini. Memang kamu pikir aku suka kamu begitu?” Walaupun pada nyatanya Nay memang menaruh hati padanya, tapi tak sekalipun ia menunjukkan ketertarikannya. Bagaimana mungkin kejadian konyol ini terjadi. Tapi itu hanyalah sebuah mimpi, pikirnya.

Berbicara sifat, Nay seolah diingatkan pada sesuatu. Dia menyibak-nyibak kembali buku hariannya, mencari-cari entah apa. Dalam satu halaman yang banyak tempat kosong, ia temu,

Pee, aku ingin memperkenalkan seseorang padamu.
Kata orang dia pendiam, menurutku dia itu rewel
Kata orang dia cuek, menurutku dia itu asyik
Kata orang dia alergi cewek, menurutku dia srobot aja
Kukira dia itu narsis, ternyata enggak juga
Kukira dia itu fanatik, ternyata slow saja
Kata orang lagi, dia itu orangnya pintar, wibawa, santun,
Membuatku semakin kagum.

Hari itu ketika ia duduk bersebelahan dengan Lucy, teman sekelas si dia, tiba-tiba Lucy membicarakannya.

“Dia itu kalau di kelas enggak mau bicara sama orang yang jauh dari tempat duduknya, maunya cuma sama teman sebelahnya. Teriak-teriak juga enggak pernah. Anak-anak pada sungkan gitu sama dia. Soalnya selain pinter, dia juga wibawa dan santun banget. Tapi dia sebenarnya gampang akrab sama anak-anak. Aku saja tadi duduk di sebelahnya juga bisa ngobrol banyak sama dia.”

Nay tertegun kala itu. Dia yang dikenal Nay bawel ternyata sifatnya luhur juga. Maklum kala itu Nay baru mengenalnya lewat pesan-pesan singkat alias sms. Nay begitu saja percaya pada Lucy. Ia tahu bahwa Lucy sangat memahami sosoknya luar dan dalam karena Lucy menaruh hati padanya juga. Oleh sebab inilah, Nay tetap pada sikap diamnya. Bagaimanapun gosip yang beredar, bagaimanapun Lucy menanyakan perihal gosip-gosip itu, Nay tetap menjawab, “Aku saja tidak kenal dia, Lucy. Bagaimana aku bisa tahu tentang gosip itu”.


Lucy, sahabat semenjak ia SD. Mengingatnya mengingatkan Nay pada tebing tinggi yang membuatnya kian diam dalam kagum. Oh, Lucy. Ini memang bukan salah Lucy atau pun Nay ketika mereka harus mencintai orang yang sama.

Pee,

Ini bukan soal memiliki atau apa. Cinta itu bukan ungkapan yang mudah dikatakan. Cinta itu bukan rangkaian kata-kata. Cinta itu letaknya di tempat yang sangat lunak. Maka, kala aku merasa mencintainya, itu bukan cinta. Karena hati memang lunak untuk menerima kelebihan. Bukan kita yang memilih siapa cinta kita, tapi cinta yang akan menunjukkannya. Bukan dengan cara ini, cara yang otoriter kita sebut jatuh cinta. Cinta akan menunjukkannya dengan caranya sendiri. Cara yang hanya Tuhan yang tahu bahwa itulah cintaku.


Memiliki. Catatan ini mungkin sebuah doa yang sebenarnya Nay tak ingin hal itu terjadi. Kenangan yang menggoreskan pahit. Bersamaan dengan kilat biru rintik air dari langit kala itu, Lucy datang kepada Nay dengan air mata yang tak kalah derasnya. “Nay, aku sakit....” Nay menduga pasti ini ada kaitannya dengan si dia.

“Aku sudah memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku,” benar dugaan Nay. “Tapi dia bilang, dia sudah suka seseorang.”

“Oh, siapa?” batin Nay. Rasa sakit Lucy bagaikan virus yang langsung menginfeksi hati Nay ketika dia berkata, “Dia sudah suka seseorang”.

“Aku pikir dia punya perasaan yang sama denganku. Dia begitu akrab padaku akhir-akhir ini.” Dia mengusap urai deras linangan air matanya. “Dia membuatku banyak berharap.”

Nay terus diam sesekali menarik napas untuk melegakan gejolak di dadanya dan menahan agar air tak menggenangi matanya.

“Aku minta satu hal padamu, Nay. Bagaimanapun yang terjadi kamu tidak boleh suka padanya. Rasa sakitnya begitu menyayat.” Nay sebenarnya bingung mengapa Lucy bicara begitu. Apa Lucy tahu bahwa ia juga menyukainya atau bagaimana? Tapi kata yang mampu keluar hanya, “Tentu.” Ia takut air matanya akan meleleh ketika ia banyak berucap. Namun sedetik kemudian satu kata itu begitu ia sesali. Kini ia telah terikat janji suci dengan sahabatnya yang menjadikannya tak mampu menyentuh si dia. Sesal, sakit, benci berkecamuk tak karuan mengiringi linangan biru di pipinya di malam setelah kejadian itu.

Pee,
Empat tahun dia menyusun bata-bata membangun harap
Kukira itu sangat kokoh hingga tak mungkin runtuh
Nyatanya sekarang semua rata dengan tanah
Ketika dia ambil penyangganya

Goresan terakhir buku hariannya beriring urai air mata saat itu dan kini. Rasa sakitnya ternyata masih sama seperti dulu, bahkan kini berbumbu rindu. Sekarang di mana dia? Entah.

***

Kaki langit senja membiaskan garis-garis jingga pada rerumputan yang hijau. Taman ini kian lengang saja oleh penapak-penapak penikmat senja. Beberapa menit yang lalu Nay telah bersila di situ sambil menatap senja yang indah, seperti biasa. Dan, tiba-tiba saja sebuah suara mengacaukan kedamaiannya yang hening.

“Halooo....” Nay terjatuh dari tumpuan tangannya. Ternyata dia terlelap di keheningan yang menyenangkan ini. Samar-samar ia lihat sesosok yang melambai-lambaikan tangannya di depan wajahnya.

“Eh?” Nay mengigau sebelum kesadarannya kembali seratus persen.

“Kamu betul Nay? Ingat aku?” tanya sesosok lelaki di depannya. Wajahnya tersenyum manis, manis sekali dengan latar jingga yang indah. Wajahnya menyenangkan untuk ditatap, mengingatkan dia kepada ... kepada ..., oh Tuhan.


Pee, apa aku masih tertidur? Sungguh apa aku masih bermimpi? Ataukah berhalusinasi? Pemandangan ini begitu menyapu hatiku yang kering, menyapu dengan lembut. Bisakah waktu berhenti beberapa saat saja? Aku takut ini hanya mimpi hingga detik kemudian aku tak akan bisa memandangnya lagi.


Pee, dia ada di hadapanku.

“Bener Nay, ya?”

“Eh? I ... iya. Kamu ....”

Ini bukan mimpi, Pee. Ini nyata.

___ The End ___

[Arsip Fiksi] “NANTI” DI TAPAL BATAS (Short Story)

Bismillah.... Happy reading ^^

Seperti biasa, malam selalu melantunkan irama sunyinya. Suara jangkrik, kodok, burung hantu, semilir angin, bahkan dengkuran para pria bertubuh besar dengan baju lorengnya. Aku telah terbiasa mendengarnya di sini. Mereka adalah teman-teman malamku ketika aku menghabiskan kegelapan dengan duduk di tepian tapal batas Atambua dan Timor Leste, setiap hari. Sekedar memandang jauh pada kaki langit Timor Leste, aku menunggu.

Seorang pria besar berbaju loreng yang semenjak tadi berjaga pada gilirannya, mendatangiku dan menyodorkan sehelai selimut bercorak garis-garis. Mungkin ia iba melihat anak sepuluh tahun sepertiku menggigil kedinginan. Ia tidak tahu saja bahwa dingin telah menjadi selimut kesayanganku.

“Kau tidak lelah menunggu, Nak?” tanyanya sembari duduk di sampingku. Semua orang di sini sudah tahu dan terbiasa akan rutinitas malamku yang selalu duduk di tepian tapal batas ini. Bukan sekedar duduk, tapi aku sedang menunggu.

Aku hanya menggelengkan kepala. Tak tahu apa yang bisa kukatakan untuk menjawab pertanyaan itu. Sejenak, angin mengajak kami berdua dalam kesunyian tanpa suara. Sedang anganku pun melayang pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Entah dua tahun, tiga tahun, atau mungkin lima tahun. Ah, aku sudah lupa umur berapa aku saat itu. Saat Ibu pergi.

Yang kuingat hanyalah suara ayam berkokok disambut gema adzan yang berkumandang di pagi buta. Tak seperti hari biasa, hari itu entah mengapa aku bisa bangun sepagi itu. Dalam pandangan pertama saat mataku terbuka, yang kulihat adalah Ibu yang sibuk mondar-mandir dengan seabrek baju-bajunya.

“Ibu, kenapa menata baju?” tanyaku polos.

“Ibu mau mengunjungi kakekmu,” jawabnya dengan seutas sungging yang menawan. Aku sangat suka senyuman itu, ditambah ada hias lesung di pipinya.

“Aku ikut kan, Bu?” tanyaku memastikan. Tak tahu mengapa, ada rasa takut kalau-kalau Ibu meninggalkanku.

“Nanti kan kamu sekolah. Jadi, tidak bisa ikut Ibu. Nanti malam Ibu juga sudah pulang kok.”

“Kan sekolahnya bisa ijin, Bu.”

“Tidak boleh. Lagian kamu juga belum mempersiapkan baju dan bekal. Kalau seandainya kamu bangun lebih awal, Ibu pasti mengajakmu. Besok saja bangun yang pagi, ya?”

Tak ada yang bisa kuperbuat. Aku terus merengek dan Ibu hanya diam. Sesekali kudapati ia mengelap tepi matanya. Apakah menangis? Tapi tak ada yang meleleh di pipinya.

“Aku antar Ibu, ya?” tanyaku. Entah, rasanya berat melepas Ibu walau hanya sampai nanti malam. Padahal sudah biasa Ibu meninggalkanku bersama bibiku untuk berburuh beberapa hari.

Ibu mengangguk. Aku pun dituntunnya menapaki jalanan sempit penuh bebatuan. Ibu berjalan terburu-buru sekali hingga kaki kecilku sering tersandung. Sampailah kami pada tapal batas Atambua-Timor Leste.

“Nak, Ibu pesan, ya. Jangan kamu lewati tapal batas ini! Anak kecil tidak boleh lewat. Nanti bisa ditangkap sama bapak-bapak itu,” perintah Ibu sambil menunjuk para pria kekar berbaju loreng yang pada petang itu semua masih dalam lelapnya. Aku hanya bisa mengangguk.

“Nak, mau kopi?” Oh, aku melamun lagi. Suara besar si pria kekar yang sedari tadi di sampingku menyadarkanku. Menyadarkanku bahwa kata “nanti” bukanlah waktu yang sebentar. Mungkin Ibu memang benar-benar meninggalkanku, pikirku terkadang. Tapi aku terus menunggu di tapal batas ini kalau-kalau malam ini Ibu pulang. Sebentar kudengar kokok ayam dan aku pun pergi meninggalkan pria itu sendiri bersama selimutnya yang tergelepak dan secangkir kopi yang mungkin kini telah dingin.

Malam ini aku bersikukuh untuk menerjang tapal batas itu. Pengalamanku berhuni di tepian tapal batas membuatku tahu kapan waktu yang tepat agar para pria kekar berbaju loreng itu tidak menangkapku. Benar saja, di tengah malam semua pria yang biasa berjaga tertidur. Aku pun langsung melompat dan berlari pada semak-semak. Kini aku tidak lagi di Atambua, melainkan Timor Leste. 

Daerah ini sungguh tragis di mataku. Di sini tidak ada air, makanan, listrik, dan jalan pun masih berupa tanah tandus yang retak. Walau di desaku juga tidak jauh berbeda, setidaknya di sana kami bisa sekolah di kelas yang lumayan bagus. Di sini aku lihat orang-orang sebayaku berkumpul di sebuah gubug reyot yang terbuka. Mereka sedang sekolah, kuperhatikan. Buku-buku mereka lusuh seperti diri mereka yang kotor dan kumal. Kulihat pula anak-anak kecil, tak tahu berapa kira-kira umurnya, tertatih-tatih membawa ember penuh dengan air dari tempat yang jauh. Sejauh aku memandang, aku melihat mereka datang. Anak-anak itu bahkan lebih kurus daripada embernya dan tak lebih tinggi daripada aku. Tangannya menegang menyembulkan tulang-tulang yang menonjol ketika mereka mengangkat beban air itu. Mungkin karena begitu kurus dan beban itu terlalu berat. 

Perutku berbunyi sedari tadi, namun aku hanya bisa memeganginya. Rasanya sangat lapar dan haus. Apalagi matahari begitu teriknya berpijar. Kepalaku kian pusing saja kurasakan. Dan tiba-tiba matahari menghilang terlahap gelap. Begitu pun cahayanya. 

“Tidak salah lagi, dia cucuku. Oh Tuhan, bagaimana dia bisa sampai sini?” Aku mendengar bisik-bisik yang bagiku seperti dengungan lebah. Kusadari mataku tertutup, tapi begitu berat ketika aku berusaha membukanya. 

“Sepertinya dia sudah siuman,” kata seorang wanita yang kudengar dari sisi kanan telingaku. Aku berusaha membuka mata dan alangkah terkejutnya aku melihat banyak sekali orang berkerumun di sekitarku. Aku sudah tak lagi di jalanan tandus yang kulewati tadi. Di sini lebih sejuk dan redup, juga beratap. 

“Minum dulu, Cu!” Seorang pria tua berperawakan besar menopang tubuhku hingga aku terduduk. Aku seperti tak asing dengan wajah itu. Tapi siapa, aku juga tak tahu. Kepalaku masih terlalu pusing untuk mengingat-ingat. Seteguk air putih itu bagaikan arak segar di tenggorokanku. Air mataku pun meleleh. Badanku sakit semua, sungguh rasanya sangat berat. Pria tua itu menyeka air mataku dengan ujung lengan bajunya. 

“Tidurlah lagi, Cu. Kamu pasti sangat lelah,” katanya lagi, namun aku menggeleng. Aku hendak beranjak untuk bangkit kembali. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu sedikit saja untuk mencari Ibu. Aku takut Ibu akan pergi lagi jika aku terlambat. Aku sudah begitu ingin bertemu Ibu. Kalau aku terlambat mencari, aku takut tidak bisa bertemu Ibu seperti aku tidak bisa ikut Ibu karena aku terlambat bangun tidur. 

Belum lekas tubuh ini bangkit, seorang nenek yang sedari tadi duduk di sebelah kananku berkata, “Cu, kamu masih ingat kami? Aku nenekmu.” 

“Nenek?” batinku terkejut. Memang wajah itu seperti tak asing lagi di otakku yang telah usang. “Kalau benar dia nenekku, pria tua ini pastilah kakekku. Lalu, di mana ibuku?” Aku sibuk dalam pikiranku sendiri, sebelum kemudian aku merintih, “Di mana ibuku?” 

“Ibu?” kata Nenek kaget. Wajahnya langsung memerah dan kulihat matanya berkubang air. Hatiku berdegup kencang sekali, hampir-hampir aku tak bisa bernapas. Kenapa mereka begitu kaget, menurutku itu hal yang begitu aneh. Bukankah Ibu pergi untuk menjenguk Kakek? 

“Nanti ibumu akan datang sebentar lagi,” kata Kakek kemudian. Pandangan Kakek berkutat dengan mata Nenek, seolah mereka sedang berbicara dengan mata mereka. Tak lama kemudian, datang seorang pria yang tinggi dengan berbalut baju kotor berdehem, membuat semua menoleh kepadanya. 

“Ada apa ramai-ramai di sini?” Pertanyaan yang sangat wajar ditanyakannya yang pasti heran melihat banyak sekali orang di rumah ini. Pria itu kemudian memandangku dan raut herannya semakin tergambar pada tatapannya yang terlihat pilu. 

“Anakmu,” kata Kakek singkat. Aku tidak yakin apa maksudnya. Aku anak pria inikah? Sejak lahir aku memang tidak tahu siapa ayahku. Tiba-tiba pria itu memelukku erat. Dia menangis begitu sendu di pundakku hingga membuatku merinding. Aku yang polos hanya ingin tahu di mana ibuku dan bibir kecilku berdalih, “Di mana Ibu?” 

“Ibumu….” Kata-kata pria yang mungkin ayahku itu tergantung oleh angin. 

“Ibu meninggalkah?” Tak tahu mengapa bibirku berucap seperti itu. Semua orang begitu sulit mengungkapkan di mana Ibu, membuatku berani berpikir demikian. Sontak semua menangis histeris. Hatiku berdesir kemudian berdetak begitu keras. Aku nyaris tak bisa bernapas. Ternyata kata “nanti” bukan lagi lama, tapi selamanya. 

“Ini salah Ayah. Andaikan Ayah memilih untuk tetap tinggal di Atambua, semua tidak akan seperti ini. Kita tidak akan berpisah dan ibumu akan lebih terjamin di sana.” Ayah, pengganti sosok Ibu. Aku memeluknya. Erat sekali. Ternyata Ibu pergi untuk bertemu Ayah. Bagiku tak ada yang harus disesalkan di tempat yang tercerai seperti ini. Semua kejadian adalah pahit dan aku tidak mau menambah pahit lebih terasa. Aku hanya ingin menyempilkan sedikit manis dengan sesungging senyum. 

Malam-malam masih kulalui di tepian tapal batas Atambua-Timor Leste. Aku mungkin telah mampu melepas Ibu pergi untuk pulang “nanti”. Tapi, tapal batas inilah singgahan terakhir tatapanku pada Ibu. Tapal batas telah menjadi separuh kehidupanku, tak tahu sampai kapan. Sesekali aku juga mencuri waktu untuk menerjang tapal batas ini ketika pria-pria kekar berbaju loreng itu lengah. Sekedar menjenguk famili di negeri tetangga. Mengelupaskan kerinduan pada sosok ibu baruku, Ayah.


Bawelan Si BawelHolic

Flash fiction ini adalah cerita yang dulunya aku ikut sertakan dalam even "Kisah dari Perbatasan" yang diselenggarakan oleh Hida Althafunnisa di facebook tertanggal 23 Januari-7 Februari 2013. Awalnya mau dibukukan semua, tetapi kata Kak Hida pesertanya terlampau sedikit dan tidak bisa dibukukan. Pun aku menempati urutan ketiga dari belasan karya yang masuk, sayangnya reward hanya diberikan pada dua pemenang terbaik. :( [manyun] Tapi, aku sudah bangga kok bisa dapat peringkat kedua. :D

Mulanya aku tak tahu menahu soal Atambua. Namun, menemukan even menulis yang menantang ini [menurutku aja sih] membuatku pengen nyoba. Aku coba cari-cari data di internet dan juga kisah-kisah tragis rakyat perbatasan. Huhuhu T_T memang yang adil itu hanya di sisi Allah saja. Pantes aja banyak kontroversi perihal aksi melepaskan diri dari wilayah batas. Mmm, aku berharap pemerintah segera membuka matanya, bahwa banyak pe-er di Indonesia, terutama perihal kesejahteraan yang diharapkan bisa merata.

May God give bright spots [bener nggak sih english-nya? haghaghag :D]

[Arsip Poem] Petuah Kecil pada Sepahat Luka

Pada sabda-sabda yang mengguntur
Bisik-bisik yang memaku dalam
Belai-belai lembut si mata parut
Bahkan cubit kecil sang bara
Padanya, bukan untuk diperlakukan sama

Sesaat hati terbajak pilu-pilunya
Bukan dsah petir yang harusnya bertampil
Bukan dendam lebih yang harusnya mampir
Hanya butir mata bolehlah kau derma
Sambil undang bayu-bayu ‘tuk singgah
Biarkan ia menyibak tirai-tirai hidungmu
Bersimpuh hingga bilik-bilik parumu

Kala itu, relakan batin merentangkan tangannya
Sampai terpeluk sabit di antara dua lesung
Dalam dekapnya

: Bersabar



Bawelan Si BawelHolic


Bismillahirrahmanirrahim....

Puisi ini pernah aku kirimkan ke MATA HATI, sebuah fanpage book di facebook, tertanggal 4 Maret 2013 pukul 16.37. Sayang, karena penilaiannya berdasarkan jumlah like, jadinya aku kalah (Waktu itu hanya dapat 19 likes). :( Waktu itu disyaratkan puisi berupa puisi inspiratif untuk mendapatkan buku "Mata Hati". Setelah meluncur ke fanpage-nya dan nangkring di sana, akhirnya tak ada hasil kecuali beberapa pujian kecil dari seorang teman yang membuatku sedikit bangga dan berbesar hati :D


Satu yang terkenang dari komentar-komentar yang ada adalah sebuah cuplikan dari teman SMA-ku, Didin Putra Mahardi. Tak tahu kenapa dia malah berkomentar seperti ini:
Di bawah komentarnya yang pertama itu, dia komentar lagi, "Maju terus Mbak Mazaya Eaw Azza (akun fb-ku)." -_- Rada kaget-kaget lucu ngebacanya. Tapi ini cuplikan yang indah, menurutku :D Bener juga nih komentar. Menjadi seorang penyair seolah tak punya salah. Mau caci maki atau pun pujian bebas tertuang dalam syair-syair tanpa mampu dituntut. Tapi bagiku bersyair adalah bermain yang unik. Mengotak-atik kata seperti bermain lego. Asyik dan menantang. Hehehe ^^

Eh, ngelantur. Back to topic. Yang ingin kusampaikan pada puisi ini mungkin sudah bisa terbaca dengan jelas. Aku memang nggak terlalu mahir berdiksi ria. -_- Intinya kita haruslah bersabar atas segala sikap yang kita rasa kurang menyenangkan. Air tuba tidaklah harus dibalas dengan air tuba pula. Benarkan? :) Biarlah kesabaran menyelinap bagai angin yang berselip di sela-sela anyaman bambu. :)



Salam karya ^^

[Arsip Poem] Warna-Warna yang Sama

Edited by me
Monoton
Walau ada banyak warna di sini
Menghiasi setiap jengkal dinding hati
Berbagai tema warna

Tapi monoton
Semua seperti begini-begini saja. Warna yang berbeda-beda ini tetap begitu-begitu jua

Ini-ini saja yang diriwayatkan
Itu-itu saja yang diceramahkan
Begini-begini saja yang dituliskan
Begitu-begitu saja yang diperdengarkan
Selalu seperti biasa yang terjadi
Monoton, padahal banyak warna
Tapi banyak itu juga monoton

Adakah warna yang benar-benar mewarnai
Bukan sekedar warna tak bernyawa
Adakah ia?
Di mana gerangan.

Ponorogo, 01032013
Ditulis pada malam berlantun instrumen indah "Cinta Sejati-BCL".

[Jurnal Harian] Dreaming? Imposible for Me, Maybe (Blessing in Disguise)

 Apakah kita berbicara tentang mimpi? Banyak orang yang berkata bahwa hidup, kesuksesan dan keberhasilan itu berawal dari mimpi. Semua orang pun membangun mimpi-mimpi mereka setinggi langit. Namun, tidak denganku. Suatu kenyataan bahwa aku tidak mempunyai sebuah mimpi [ow ow :o]. Mungkin karena aku sudah “trauma” untuk bermimpi. Trauma? What happened? Apa yang terjadi? [sok penuh tanda tanya :P]

Taked from Google Image

Past Moment
Dulu [lagak serius mengawang masa lalu -_-], aku membangun batu-batu mimpi yang tinggi dengan kokohnya. Setiap hari aku terus membangun dan memperkokoh. Aku tidak hanya bermimpi dalam tidur maupun dalam lamun. Aku, seperti kebanyakan orang sukses lakukan, terus berusaha dengan giatnya hingga prestasi terus kutoreh sepanjang waktu.

Taked from Google Image
Dan akhirnya, tibalah aku menerima hasil, ketika peluang untuk mewujudkan mimpi telah di genggamanku. Bayangan indah akan mimpi-mimpiku yang hendak menjadi nyata telah menari-nari di benakku. Hingga suatu ketika saat mimpi yang bercahaya itu hendak kugenggam ...

Taked from Google Image
Aku meminta izin dan restu kepada orang tua untuk meraih apa yang kutunggu selama ini. Dan, sungguh tak dinyana mereka tidak mengizinkanku untuk benar-benar memiliki mimpi itu karena mengharuskanku mengelana jauh. Suatu kenyataan pahit yang ku rasakan kala itu bahkan hingga sekarang, mungkin. :( :'(

Sampai saat inipun aku seringkali bertanya dalam lamun tentang apa, mengapa dan bagaimana mungkin orang tuaku tidak mengizinkanku. Berbagai alasan yang mereka tuturkan memang sangat masuk akal. Aku sebagai seorang anak juga mengerti betul bahwa setiap orang tua berharap kebaikan pada anaknya. Apalagi kedua orang tuaku bukanlah orang yang buta aksara dan telah memakan bangku sekolah sampai perguruan tinggi, bahkan. Namun, tetap saja pada akhirnya lelehan air mata yang mengakhiri lamunan yang berkecamuk. [bukan sok melancois dan tanpa pencitraan T_T]

Apa sebenarnya mimpi yang kubangun? Study aboard atau setidaknya Malang-Surabaya-Jogja-Jakarta. Bukan mahal biaya yang dipermasalahkan di sini, karena yang akan ku lalui adalah jalur beasiswa entah apa bentuknya. Hmmm, bukan hal yang buruk dan harusnya patut dibanggakan untuk sekadar berangan bisa mengenyam pengalaman di tempat yang jauh. Apa yang salah? What's wrong? Nothing. Hanya pandangan orang tua seringkali tidak bisa kita pahami. Tapi, bagaimanapun itu, tiada yang bisa disalahkan atas semua persepsi mereka.

Now!
Mimpi. Itu adalah cerita dulu. Sedikit demi sedikit aku bangkit apalagi kulihat banyak orang hebat yang kutemu di kampung kecil ini. Kampung kecil? Ya, kuanggap duniaku ini adalah kampung yang tak berarti sekadar untuk mencari sebuah keberuntungan. Namun mereka yang hebat, memilih untuk di sini adalah sebuah motivasi untukku. Aku sadar, aku tak perlu berkelana jauh untuk memperjuangkan sesuatu yang besar dan menjadi orang besar. Di kampung kecil ini, ada juga hal besar yang patut diperjuangkan. Ada lagi sebuah kalimat dari sahabat tercintaku yang membuatku semakin bangkit dan tertantang. Katanya, “Pandai dan besar di negeri orang itu sudah biasa. Namun, pandai dan besar di negeri sendiri, sungguh tak bisa diuangkan”.

Blessing in Disguise
Satu tahun yang lalu semua itu terjadi. Kesadaran akan kekecewaan yang terpendam seringkali masih muncul. Tapi, sisi sadarku yang lain tak mampu mengelak bahwa berbagai pelajaran berharga kudapat setahun ini. Di samping orang tua, begitu penting dan berharganya arti diriku sekadar membantu mereka meringankan beban berat yang dipikul, sekadar berbagi cerita susah atau apa. Di samping mereka aku juga lebih terjaga. Ini yang terpenting, belajar dan mempelajari hidup. Mungkin gelimang beasiswa yang menjanjikan ketenteraman belajar dengan full-facilitation membuatku buta. Baik memang, tapi terkadang kebaikan bisa melahirkan sebuah kisah tak diharapkan. Sebagaimana kita tahu sendiri tragedi anak rantau.

God Plan

Satu hal yang ku yakini, bahwa Tuhan punya cara sendiri, yang bahkan kita tidak akan pernah menyangkanya, perihal sebuah kejutan untuk sekadar membuat kita bahagia. Barangkali di suatu tempat dan di suatu waktu di masa depan ada secercah keindahan tak terkira tentang kebaikan dunia yang kutata sedemikian indah selama ini, terwujud dengan begitu apik oleh arsitektur rancangan Tuhan. :) "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al Baqarah : 216) [copas dari blognya Mbak Muna ^^]


Taked from Google Image
So, sekarang aku tak lagi membangun mimpi. Lagipula, mimpi adalah bunga tidur, bukan? Tak peduli mau jadi apa aku kelak, tak ada mimpi dan tak ada target. Yang terpenting bagiku adalah melakukan usaha yang terbaik segiat yang kubisa. Aku terus gigih seolah buta oleh kesilauan cahaya bahagia yang menantiku di depan sana. Walau aku hanya bisa duduk di kampung kecil ini, tapi aku akan buktikan bahwa aku bisa lebih dari mereka yang ada di jauh sana. Aku juga yakin bahwa Allah akan mempersiapkan hadiah terindah pada orang yang sabar dan tetap gigih:D

Dream
Mungkin aku juga salah bilamana mengatakan bahwa aku tak lagi akan bermimpi, namun terus be and do the best, karena pada dasarnya tujuannya adalah kebahagiaan yang tiada tersangka. Bukankah bahagia juga sebuah mimpi. Maka, bermimpi bukanlah suatu kesalahan, tapi ia adalah doa dan benih yang hendak kita rawatKeep your dream and do the best for get it! Hihihi ^^v

Taked from Google Image