Nay asal membuka buku harian usangnya, begitu saja. Entah berapa halaman yang tersibak, namun di halaman yang terbuka itu ia menemukan barisan kata-kata lama.
Hai Pee,
Mimpi ini begitu lucu menurutku
Akankah sama lucunya bila nyata terjadi?
Pee, sebuah inisial untuk kertas-kertasnya yang romantis. Paper Romance, katanya. Nay tersenyum kala mengingat persis apa maksud bait-bait itu. Sebuah mimpi yang aneh dan lucu menurutnya. Ia masih ingat ketika tiga hari tiga malam ia terus tersenyum-senyum dalam dunia dan lamunannya sendiri akibat mimpi yang konyol. Ya, sangat sangat konyol. Dalam sebuah taman kecil yang sepi, tiba-tiba sesosok yang ia kagumi bertahun-tahun kala itu datang dan berkata, “Nay, kamu dengar orang-orang membicarakan tentang kita?” Memang benar Nay tahu gosip-gosip burung yang terbang sembarangan di kampus. Apa maksud ia datang dan tiba-tiba menanyakan hal ini? Nay siap-siap menata hati kalau-kalau.... “Tapi, Nay,” lanjutnya, “Aku sebenarnya tidak ada perasaan apapun padamu. Memang kita dekat, tapi aku hanya menganggapmu teman.”
Kecewa? Tidak menurutnya. Walaupun sudah ada harap. Pengakuannya begitu lucu menurut Nay. Ia ingat betul dalam mimpipun ia tertawa terpingkal-pingkal dan sempat menjawab, “Hey! Kenapa kamu begitu serius menanggapi hal bodoh ini. Memang kamu pikir aku suka kamu begitu?” Walaupun pada nyatanya Nay memang menaruh hati padanya, tapi tak sekalipun ia menunjukkan ketertarikannya. Bagaimana mungkin kejadian konyol ini terjadi. Tapi itu hanyalah sebuah mimpi, pikirnya.
Berbicara sifat, Nay seolah diingatkan pada sesuatu. Dia menyibak-nyibak kembali buku hariannya, mencari-cari entah apa. Dalam satu halaman yang banyak tempat kosong, ia temu,
Pee, aku ingin memperkenalkan seseorang padamu.
Kata orang dia pendiam, menurutku dia itu rewel
Kata orang dia cuek, menurutku dia itu asyik
Kata orang dia alergi cewek, menurutku dia srobot aja
Kukira dia itu narsis, ternyata enggak juga
Kukira dia itu fanatik, ternyata slow saja
Kata orang lagi, dia itu orangnya pintar, wibawa, santun,
Membuatku semakin kagum.
Hari itu ketika ia duduk bersebelahan dengan Lucy, teman sekelas si dia, tiba-tiba Lucy membicarakannya.
“Dia itu kalau di kelas enggak mau bicara sama orang yang jauh dari tempat duduknya, maunya cuma sama teman sebelahnya. Teriak-teriak juga enggak pernah. Anak-anak pada sungkan gitu sama dia. Soalnya selain pinter, dia juga wibawa dan santun banget. Tapi dia sebenarnya gampang akrab sama anak-anak. Aku saja tadi duduk di sebelahnya juga bisa ngobrol banyak sama dia.”
Nay tertegun kala
itu. Dia yang dikenal Nay bawel ternyata sifatnya luhur juga. Maklum kala itu
Nay baru mengenalnya lewat pesan-pesan singkat alias sms. Nay begitu saja
percaya pada Lucy. Ia tahu bahwa Lucy sangat memahami sosoknya luar dan dalam
karena Lucy menaruh hati padanya juga. Oleh sebab inilah, Nay tetap pada sikap
diamnya. Bagaimanapun gosip yang beredar, bagaimanapun Lucy menanyakan perihal
gosip-gosip itu, Nay tetap menjawab, “Aku saja tidak kenal dia, Lucy. Bagaimana
aku bisa tahu tentang gosip itu”.
Lucy, sahabat semenjak ia SD. Mengingatnya mengingatkan Nay pada tebing tinggi yang membuatnya kian diam dalam kagum. Oh, Lucy. Ini memang bukan salah Lucy atau pun Nay ketika mereka harus mencintai orang yang sama.
Pee,
Ini bukan soal memiliki atau apa. Cinta itu bukan ungkapan yang mudah dikatakan. Cinta itu bukan rangkaian kata-kata. Cinta itu letaknya di tempat yang sangat lunak. Maka, kala aku merasa mencintainya, itu bukan cinta. Karena hati memang lunak untuk menerima kelebihan. Bukan kita yang memilih siapa cinta kita, tapi cinta yang akan menunjukkannya. Bukan dengan cara ini, cara yang otoriter kita sebut jatuh cinta. Cinta akan menunjukkannya dengan caranya sendiri. Cara yang hanya Tuhan yang tahu bahwa itulah cintaku.
Memiliki. Catatan ini mungkin sebuah doa yang sebenarnya Nay tak ingin hal itu terjadi. Kenangan yang menggoreskan pahit. Bersamaan dengan kilat biru rintik air dari langit kala itu, Lucy datang kepada Nay dengan air mata yang tak kalah derasnya. “Nay, aku sakit....” Nay menduga pasti ini ada kaitannya dengan si dia.
“Aku sudah memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku,” benar dugaan Nay. “Tapi dia bilang, dia sudah suka seseorang.”
“Oh, siapa?” batin Nay. Rasa sakit Lucy bagaikan virus yang langsung menginfeksi hati Nay ketika dia berkata, “Dia sudah suka seseorang”.
“Aku pikir dia punya perasaan yang sama denganku. Dia begitu akrab padaku akhir-akhir ini.” Dia mengusap urai deras linangan air matanya. “Dia membuatku banyak berharap.”
Nay terus diam sesekali menarik napas untuk melegakan gejolak di dadanya dan menahan agar air tak menggenangi matanya.
“Aku minta satu hal padamu, Nay. Bagaimanapun yang terjadi kamu tidak boleh suka padanya. Rasa sakitnya begitu menyayat.” Nay sebenarnya bingung mengapa Lucy bicara begitu. Apa Lucy tahu bahwa ia juga menyukainya atau bagaimana? Tapi kata yang mampu keluar hanya, “Tentu.” Ia takut air matanya akan meleleh ketika ia banyak berucap. Namun sedetik kemudian satu kata itu begitu ia sesali. Kini ia telah terikat janji suci dengan sahabatnya yang menjadikannya tak mampu menyentuh si dia. Sesal, sakit, benci berkecamuk tak karuan mengiringi linangan biru di pipinya di malam setelah kejadian itu.
Pee,
Empat tahun dia menyusun bata-bata membangun harap
Kukira itu sangat kokoh hingga tak mungkin runtuh
Nyatanya sekarang semua rata dengan tanah
Ketika dia ambil penyangganya
Goresan terakhir buku hariannya beriring urai air mata saat itu dan kini. Rasa sakitnya ternyata masih sama seperti dulu, bahkan kini berbumbu rindu. Sekarang di mana dia? Entah.
***
Kaki langit senja membiaskan garis-garis jingga pada rerumputan yang hijau. Taman ini kian lengang saja oleh penapak-penapak penikmat senja. Beberapa menit yang lalu Nay telah bersila di situ sambil menatap senja yang indah, seperti biasa. Dan, tiba-tiba saja sebuah suara mengacaukan kedamaiannya yang hening.
“Halooo....” Nay terjatuh dari tumpuan tangannya. Ternyata dia terlelap di keheningan yang menyenangkan ini. Samar-samar ia lihat sesosok yang melambai-lambaikan tangannya di depan wajahnya.
“Eh?” Nay mengigau sebelum kesadarannya kembali seratus persen.
“Kamu betul Nay? Ingat aku?” tanya sesosok lelaki di depannya. Wajahnya tersenyum manis, manis sekali dengan latar jingga yang indah. Wajahnya menyenangkan untuk ditatap, mengingatkan dia kepada ... kepada ..., oh Tuhan.
Pee, apa aku masih tertidur? Sungguh apa aku masih bermimpi? Ataukah berhalusinasi? Pemandangan ini begitu menyapu hatiku yang kering, menyapu dengan lembut. Bisakah waktu berhenti beberapa saat saja? Aku takut ini hanya mimpi hingga detik kemudian aku tak akan bisa memandangnya lagi.
Pee, dia ada di hadapanku.
“Bener Nay, ya?”
“Eh? I ... iya. Kamu ....”
Ini bukan mimpi, Pee. Ini nyata.
___ The End ___